Yayasan FIELD Indonesia (Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy -Indonesia) atau Inisiatif Petani untuk Ekologi Perikehidupan dan Demokrasi adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang mendukung kelompok masyarakat marginal melalui pola pendidikan pemberdayaan. Yayasan FIELD Indonesia didirikan pada bulan Juli 2001, dibentuk oleh alumni tim bantuan teknis FAO-Program PHT (Pengendalian Hama Terpadu) Asia (tahun 1998-2002), dan tim bantuan teknis FAO-Program Nasional PHT Indonesia (tahun 1989-2002) yang mendukung jaringan organisasi tani lokal dan Ikatan Petani PHT Indonesia.
Sebagai sebuah organisasi non-profit, FIELD Indonesia berharap dapat membantu masyarakat marjinal mendapatkan dan dapat mengelola kembali wilayah perikehidupannya untuk meningkatkan kesejahteraannya, serta bergerak untuk memperkuat demokrasi, keadilan, dan kesehatan lingkungan.
Sehingga misi FIELD Indonesia dapat memfasilitasi masyarakat agar mampu memperkuat masyarakat petani yang rentan untuk menjadi pelaku dalam upaya memperjuangkan terwujudnya ekosistem lingkungan yang seimbang, dan memperoleh kehidupan yang layak, serta memperkuat gerakan masyarakat petani/pedesaan melalui pendidikan partisipatif, riset aksi dan penguatan jaringan organisasi petani.
Sejak berdiri pada tahun 2001 FIELD Indonesia telah melakukan berbagai pengembangan masyarakat melalui pendidikan dan latihan di bidang: Perubahan Iklim, Pengembangan Biodiversity, Pengembangan Agroforestri, System of Rice Intensification (SRI), Pengadaan Air Bersih dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Pengembangan Ekonomi Masyarakat melalui Credit Union, Riset Aksi Partisipatif, Pengorganisasian Rakyat dan Advokasi, Pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim, gender, Perencanaan Strategis, Pengembangan Media Rakyat, Pengembangan sumber daya genetik oleh petani; Sistem pangan lokal dan pengembangan perikehidupan masyarakat; Meningkatkan peran masyarakat untuk advokasi dan perubahan kebijakan lokal; Pengembangan pertanian ekologis-organik pada padi, palawija, dan sayuran; Penguatan perencanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masyarakat; Pengelolaan daerah aliran sungai dan agroforestri berbasis masyarakat; Konservasi keanekaragaman hayati; dan Konsultansi.
Dalam pelaksanaan program FIELD Indonesia telah bekerja sama dengan organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional, universitas, pemerintah, dan donor.
Pola kegiatan FIELD menggunakan proses belajar dari pengalaman melalui berbagai pendekatan seperti Sekolah Lapangan, Studi Petani, Riset Aksi Partisipatif, Perencanaan Partisipatif, PRA, Pengkajian Perikehidupan Berkelanjutan, Pengkajian Kerentanan Perubahan Iklim, serta Advokasi Masyarakat.
Yayasan FIELD Indonesia (Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy) adalah sebuah lembaga yang mendukung gerakan masyarakat bergerak di bidang pendidikan pemberdayaan masyarakat marginal. Yayasan FIELD didirikan pada bulan Juli 2001 dan dibentuk oleh anggota Tim FAO PHT (Food and Agriculture Organization Pengendalian Hama Terpadu) yang telah berpengalaman sebagai tim bantuan teknis sejak tahun 1989. Bantuan teknis ini diberikan kepada Program PHT Asia, Program Nasional PHT, Organisasi Petani Lokal, dan Ikatan Petani PHT Indonesia (IPPHTI).
Padi merupakan tanaman yang dikonsumsi oleh lebih banyak orang dibandingkan dengan tanaman lain, dan sudah menjadi bagian dari diet manusia selama periode waktu yang panjang. Padi telah dibudidayakan di Asia Selatan dan Tenggara selama 6 hingga 12 ribu tahun.
Swasembada beras di Indonesia dianggap sebagai kunci untuk memastikan ketahanan pangan, dengan beras sebagai produk utama yang dihasilkan. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 11 juta hektar lahan sawah beririgasi, dan antara 15 hingga 20 juta petani padi. Sebagian besar dari mereka bercocok tanam di lahan kecil, dengan luas antara 0.2 hingga 0.5 hektar. Seperti banyak negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Indonesia mulai mengintensifkan produksi padi sejak tahun 1960-an. Dasar dari upaya ini adalah agar petani padi di Indonesia dapat mengadopsi teknologi "Revolusi Hijau".
Program intensifikasi padi di Indonesia, dikenal dengan nama BIMAS (Bimbingan Massal), merupakan salah satu kisah sukses dari implementasi Revolusi Hijau dalam produksi beras. Dengan program ini, Indonesia mampu meningkatkan produktivitas lebih dari dua kali lipat per hektar dan menghasilkan produksi beras nasional tiga kali lipat. Hasilnya, Indonesia bertransformasi dari pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1960 menjadi negara yang swasembada beras pada tahun 1984.
Namun, pendekatan teknologi dalam Revolusi Hijau juga membawa beberapa masalah. Sistem monokultur, jarak tanam yang dekat, penggunaan pupuk kimia secara intensif, dan kanopi tebal, semuanya memfasilitasi berkembangnya hama tertentu. Penggunaan insektisida secara berlebihan tidak hanya membunuh hama, tetapi juga predator alami.
Pada pertengahan tahun 1970-an, wabah wereng coklat mulai merusak panen di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya yang mengadopsi varietas baru dari IRRI. Dampaknya di Indonesia sangat parah. Hanya dua tahun setelah mencapai swasembada beras pada tahun 1984, wabah wereng coklat di Jawa Utara menghancurkan ribuan hektar sawah, mengancam ketahanan pangan nasional.
Para ahli pertanian dari perguruan tinggi pertanian di Bogor, bersama dengan peneliti dari FAO dan IRRI di Filipina, mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah ini. Pada bulan Oktober 1986, mereka menunjukkan kepada Presiden Suharto bagaimana serangga hama dan laba-laba menjadi bagian dari ekosistem sawah. Presiden Suharto kemudian mengeluarkan instruksi yang melarang penggunaan 28 jenis insektisida pada tanaman padi, menghapus subsidi pestisida, dan memastikan bahwa Pengendalian Hama Terpadu menjadi kebijakan nasional untuk perlindungan padi dan palawija.
Pada tahun 1989, USAID menyediakan dana 4,7 juta dolar AS kepada Departemen Keuangan Indonesia dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk memulai Program Nasional PHT selama dua tahun, diawali di 6 provinsi penghasil beras, dengan bantuan teknis yang disediakan FAO. Keputusan untuk menyerahkan proyek kepada BAPPENAS bukan kepada Departemen Pertanian cukup strategis – ada anggapan terlalu sulit untuk menyusun strategi baru yang radikal bagi suatu lembaga yang sudah sedemikian kuat berkomitmen melakukan “transfer teknologi” dalam pendekatan penyuluhan dengan Latihan dan Kunjungan, dan terlibat sedemikian dalam dengan kepentingan perusahaan pestisida. Tim FAO mendirikan Sekretariat PHT di perkantoran BAPPENAS di Jakarta dan Kantor Cabang di Yogyakarta, dan menjalin kerja sama dengan para pengamat hama dan sejumlah PPL yang terseleksi di sejumlah kabupaten tertentu.
Hal ini menyusun tahapan perkembangan model SL-PHT, semacam “sekolah tanpa dinding” yang memadukan pendidikan non-formal orang dewasa dengan analisis agro-ekosistem. SL-PHT mewakili keterlepasan besar-besaran dari model-model penyuluhan pertanian sebelumnya dengan mendorong para petani untuk melakukan sendiri penelitian dan analisis mereka dan memutuskan sendiri cara pengelolaan tanaman mereka; dan dari pendekatan yang selama ini ada menjadi pengendalian hama, dengan mengkaji keseluruhan agro-ekosistem tanaman padi bukan sekadar fokus pada permasalahan hama. Staf Program Nasional PHT utamanya terdiri dari para pakar pendidik dan mantan aktivis – lahan sawah menyediakan laboratorium dan ruang kelas, dan para petani sendiri menyajikan ilmu pengetahuan.
SL-PHT berisikan pertemuan-pertemuan mingguan sehari penuh selama masa pelatihan dalam satu kali musim tanam, sekitar 10 hingga 12 pekan. SL-PHT menggunakan dua lahan percobaan: satu lahan “non-PHT” yang disemprot dengan insektisida sesuai dengan petunjuk Dinas Pertanian, dan sebidang lahan PHT yang diolah berdasarkan keputusan yang diambil oleh kelompok selama pertemuan demi pertemuan mingguan mereka. Tidak ada guru maupun murid, atau pelatih dan yang dilatih, melainkan fasilitator dan peserta. SL-PHT ini memiliki sekitar 25 anggota, yang terbagi menjadi lima kelompok untuk melakukan observasi dan analisis lapangan.
Masing-masing sesi dimulai dengan pengkajian yang cermat mengenai kondisi di lapangan, observasi rumpun padi yang diambil dari masing-masing lahan sawah secara acak diagonal. Kelompok-kelompok tersebut mencatat serangga, laba-laba, gejala kerusakan tanaman, gulma, dan penyakit yang diobservasi dari setiap rumpun, seiring masa pertumbuhan tanaman, kondisi cuaca, dan air. Serangga dan binatang-binatang lain yang menarik perhatian ditangkap hidup-hidup, dijaga untuk keperluan observasi. Para petani melakukan eksperimen untuk mempelajari efek dari perbedaan jarak tanam, pengendalian air, varietas, karakteristik tanah, serta pemakaian pupuk dan insektisida terhadap pertumbuhan tanaman.
Usai kerja lapangan mereka, para peserta berkumpul di rumah atau dangau terdekat, dan menggambarkan apa yang mereka observasi pada lembar berita yang berupa lembaran-lembaran kertas berukuran lebar. Yang tersisa dari pertemuan SL-PHT diangkat dalam diskusi hangat yang membahas temuan mingguan. Para petani terdorong untuk mendiskusikan apa yang telah mereka temukan, dan merumuskan kesimpulan mereka sendiri mengenai status tanaman dan langkah-langkah pengendalian yang dimungkinkan (atau menyiapkan eksperimen baru untuk menemukan jawabannya). Diskusi didasarkan pada prinsip “Apa ini?”. Menjawab pertanyaan secara langsung [yang diajukan oleh fasilitator] dianggap sebagai hilangnya kesempatan belajar. Tujuan dari diskusi-diskusi ini adalah menghasilkan definisi fungsional mengenai serangga: Berapa jumlahnya? Ada di mana mereka pada tanaman? Apa yang mereka lakukan? Apa akibatnya? Sejumlah “kebun serangga”, yang masing-masing dibuat dengan menaruh kelambu berserat halus yang menyelubungi sebatang tanaman padi, digunakan untuk mengamati proses memangsa dan parasitasi bekerja, dengan mempersilahkan petani mempelajari siapa saja kawan-kawan mereka, musuh mereka, dan juga musuh dari musuh-musuh mereka. Kegiatan icebreaker – selingan untuk menggugah suasana- digunakan untuk membuat sesi demi sesi menjadi menarik dan menambah rasa kebersamaan di antara kelompok.
Dengan berpartisipasi di SL-PHT dan arahan melakukan aktivitas penelitian partisipatoris sebagai tindak lanjut, para petani pun belajar mengambil keputusan pengelolaan tanaman yang mengacu pada keadaan mereka sendiri serta keseimbangan ekologis lahan sawah masing-masing. Empat prinsip panduan dari Program Nasional PHT merefleksikan keterpaduan ini, serta tujuan keseluruhan program untuk menjadikan para petani sebagai pengelola yang percaya diri dan pembuat keputusan, bersemangat dengan gagasan-gagasan dan informasi baru, dan terbebas dari ketergantungan terhadap petunjuk-petunjuk dari “yang di atas”:
Hasilnya berlangsung cepat dan mencengangkan: di antara para petani SL-PHT, penggunaan insektisida berkurang dari rata-rata 2,8 semprotan per musim menjadi sekali saja dan sebagian besar petani tidak melakukan semprotan sama sekali. Bila para petani benar-benar menggunakan insektisida, sebagian besar hanya dapat mengidentifikasi satu jenis hama. Beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa para petani PHT menghasilkan panen, rata-rata, yang sedikit lebih tinggi, dan pengeluaran yang lebih rendah dibandingkan rekan-rekan mereka yang bukan petani PHT. Namun perubahan yang paling berkesan bukan semata-mata pada yang terjadi di sawah, melainkan pada karakter para petani PHT sendiri:
Para pejabat yang mengunjungi Sekolah Lapangan terkagum-kagum pada apa yang tengah terjadi. Inilah para petani dan beberapa perangkat desa, kelompok paling rendah dalam jenjang birokratis, secara aktif dan cerdas membahas permasalahan mereka, menyajikan secara piawai dan akurat gambaran-gambaran berbagai serangga, berbicara di hadapan umum (termasuk di depan para pejabat yang berkunjung seperti Menteri Pertanian), dan membuat keputusan yang matang mengenai pengendalian hama.
Proyek yang sebenarnya berlangsung selama dua tahun diperpanjang menjadi proyek tiga tahun. Menjelang akhir dari fase perintis tiga tahunan pada tahun 1992, lebih dari 250.000 petani di enam provinsi berpartisipasi dalam kegiatan SL-PHT, yang menyebabkan pengurangan penggunaan insektisida hingga 60 persen di wilayah-wilayah proyek.
Pada tahun 1992, keputusan diambil untuk mencanangkan “lingkup nasional”, dengan dana pinjaman 32 juta dolar AS dari Bank Dunia, 14 juta dolar AS dari Pemerintah Indonesia, dan tambahan 7 juta dolar AS dari USAID. Manajemen program dialihkan ke Departemen Pertanian, dan implementasi diperluas ke 12 provinsi penghasil beras di Indonesia. Program Nasional PHT di Indonesia berjalan dari tahun 1993 hingga 1999, dengan jumlah petani berperan serta di SL-PHT dan berbagai program penelitian partisipatoris lanjutan setelah SL-PHT mencapai lebih dari satu juta orang.
Menyadari bahwa mencapai “keberkelanjutan birokratis” tentang pendekatan Sekolah Lapangan dengan Departemen Pertanian harus diperjuangkan dengan keras, maka Program PHT di Indonesia pun mengadopsi sebuah strategi, “Masyarakat PHT”, yang berfokus pada petani dan kelompok petani sebagai agen utama yang melakukan “perluasan dan inovasi”. Sejak fase-fase awal program ini, Petani Pemandu direkrut dan dilatih dengan sejumlah ketrampilan dasar memandu SL-PHT, yakni menyediakan tambahan pemandu dari Departemen Pertanian dan menyampaikan pesan kepada pihak lain dalam kelompok masyarakat mereka.
Untuk menciptakan jejaring tingkat nasional yang dapat mendukung upaya-upaya kelompok tani PHT di tingkat lokal, alumni SL menggunakan kesempatan lokakarya evaluasi akhir yang diselenggarakan FAO dan Program Nasional PHT di Yogyakarta pada tahun 1999 untuk membentuk Ikatan Petani PHT Indonesia (IPPHTI), dengan tujuan menguatkan kelompok petani di tingkat lokal sebagai fondasi bagi para petani untuk berjejaring dan memiliki sebuah ikatan yang kuat di tingkat nasional. Sepuluh tahun setelah berakhirnya Program Nasional PHT, IPPHTI masih aktif di banyak wilayah negeri ini. Para anggota masih melaksanakan Sekolah Lapangan dengan berbagai macam topik, seiring meluasnya kegiatan eksperimen dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para petani, persilangan tanaman dan sistem benih masyarakat, penyusunan kebijakan dan advokasi. Para aktivis alumni IPPHTI juga telah mendirikan sebuah “Universitas Petani” di satu desa yang berada di pinggiran Yogyakarta, dengan menggabungkan pendekatan Sekolah Lapangan dengan materi-materi pelajaran formal di bidang pertanian. Selain itu, para anggota kunci Sekretariat Nasional PHT membentuk sebuah lembaga baru, Farmers – Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (Inisiatif Petani untuk Perikehidupan yang Ekologis dan Demokrasi) atau FIELD Indonesia, bagian dari Aliansi FIELD tingkat regional. FIELD Indonesia bekerja sama dengan berbagai mitra dalam rangka pengembangan kapasitas untuk perencanaan perikehidupan dan riset aksi di tingkat desa, pelatihan petani mengenai pengelolaan sumber daya genetik, persilangan tanaman dan produksi sayur sehat, serta kegiatan advokasi yang berhubungan dengan pemerintah setempat dan peran petani dalam sistem pangan global.
Sumber: Craig Thorburn, Kami Bisa!: Sekolah lapangan untuk Ketahanan Daerah Aliran Sungai dan Kesehatan, FIELD Indonesia, Jakarta, 2010.
Visi FIELD adalah Masyarakat marjinal mendapatkan dan mengelola kembali wilayah perikehidupannya untuk meningkatkan kesejahteraannya, serta bergerak untuk memperkuat demokrasi, keadilan, dan kesehatan lingkungan.
Misi FIELD adalah memfasilitasi masyarakat marginal agar mampu untuk: